Setiap tanggal 11 Oktober, kita diingatkan tentang peristiwa sejarah wafatnya seorang pejuang banua yang selalu dikenang namanya. Ia, Gusti Inu Kartapati alias Pangeran Antasari bin Pangeran Masohud bin Pangeran Amir, lokomotif dan ikon pecahnya De Bandjermasinsche Krijg atau Perang Banjar (1859-1905).
Siapakah Pangeran Antasari? Kalau kita bertanya hal tersebut, anak muda Banjar pasti menunjuk salah satu nama jalan di kota Banjarmasin . Tapi adakah yang mengenalnya? Sebagai ‘Urang Banjar’ sungguh ironis jika kita tidak mengetahui sejarah perkembangan kerajaan Banjar. Sejarah ini diwarnai dengan peperangan besar menentang penjajah Belanda. Banyak Bangsawan kerajaan Banjar, Ulama dan rakyat yang ikut serta dalam peperangan itu. Demikian pula rakyat di daerah ‘Banua Lima’ serentak mengangkat senjata dibawah pimpinan Pangeran Hidayatullahullah dan Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari memiliki pribadi yang besar dan seorang ahli strategi perang gerilya yang mampu memimpin dan menggerakkan pasukan di daerah yang amat luas dan sulit serta seorang pemimpin yang ulet, tabah dan berwibawa dengan memiliki kekuatan lahir dan batin untuk menggerakkan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama. Selain itu, beliau adalah pemimpin yang dicintai rakyat, cerdik dan sangat alim.
Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat.
Sebagaimana tertulis dalam sejarah, Banjarmasin merupakan pusat kesultanan yang cukup maju. Tapi pada permulaan abad ke 19, relatif mereka sudah dikuasai pihak Belanda. Belanda melaksanakan perang kolonialnya, antara lain dengan maksud melakukan aneksasi wilayah Kalimantan Selatan.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Ketika Sultan Adam (1825-1857) meninggal dunia, Belanda mengangkat cucunya yaitu Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan. Putra Sultan Adam yaitu Pangeran Abdulrachman, ayah Tamjidillah, telah meninggal lebih dahulu pada tahun 1852.
Pengangkatan ini rupanya menimbulkan masalah, karena Ibu Tamjidillah adalah orang Cina. Sebagian masyarakat muslim keberatan untuk menerimanya. Apakah ini berkaitan soal sara, tentunya perlu dilakukan penelitian lebih jauh.
Tapi rupanya keberatan lain pada pengangkatan Tamjidillah, adalah kesenangannya pada minuman keras dan bermabuk-mabukan. Rupanya kalangan umum lebih menyukai putra Abdulrachman yang lain yaitu Pangeran Hidayatullahullah. Dia selain putra dari Ibu bangsawan, juga berperangai baik. Tetapi Tamjidillah sudah didukung dan ditetapkan Belanda sebagai suksesor.
Keruwetan politik dalam negeri Kesultanan Banjar ini akhirnya menimbulkan meletusnya Perang Banjar selama 4 tahun (1859–1863). Pada periode konflik fisik itulah, yaitu pada tahun 1859, muncul seorang pangeran setengah baya yang telah disingkirkan haknya, memimpin perlawanan terhadap Belanda. Dialah Pangeran Antasari yang lahir tahun 1809.
Dua tokoh pimpinan saat itu, Panembahan Aling dan Sultan Kuning, membantu Antasari untuk melancarkan serangan besar-besaran. Mereka menyerang pertambangan batubara Belanda dan pos-pos misionaris, sehingga pihak Kolonial mendatangkan bala bantuan besar-besaran.
Antasari kemudian bergabung dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pelaihari, Kahayan, Kapuas, dan lain-lain. Mereka bersepakat mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar. Maka perang makin menghebat, dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pernah pihak Belanda mengajak berunding, tetapi Pangeran Antasari tidak pernah mau. Daerah pertempurannya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 September 1859, mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859, pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu Pangeran Hidayatullah makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayatullah menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayatullah, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayatullah menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Pangeran Hidayatullah menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar.
Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak. Dia harus menerima kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Pada tahun 1862 Pangeran Antasari merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap Belanda, tetapi secara mendadak, wabah cacar melanda daerah Kalimantan Selatan, Pangeran Antasari terserang juga, sampai ia meninggal pada 11 Oktober 1862 di Bayan Begak, Kalimantan Selatan. Kemudian ia dimakamkan di Banjarmasin.
Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Pangeran Antasari, dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar.
Pangeran Antasari diberi anugerah gelar Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 27 Maret 1968 No 06/tki/Tahun 1968
1 komentar:
Ya
Posting Komentar